Breaking News

Makalah

Wednesday, September 28, 2016

makalah ULAMA’ SEBAGAI AHLI WARIS NABI

ULAMA’ SEBAGAI AHLI WARIS NABI

BAB I
PENDAHULUAN
Melihat pentingnya peran ulama’ terhadap umat Islam, maka umat Islam sangat mengharapkan agar para ulama’nya tidak hanya sekedar berceramah, berkhotbah, dan menyelenggarakan pengajian, namun diharapkan lebih mampu memberikan tuntunan dan pergerakan-pergerakan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan umat, serta mampu menemukan solusi dan alternatif   bagi pemecahan problem-problem sosial dan ekonomi, dan solusi tersebut  sesuai  dengan norma-norma agama yang telah ditentukan.
Adapun kelangkaan ulama’ yang diakibatkan tuntutan umat agar ulama’ lebih komprehensif dan profesional menjadikan tugas-tugas ulama’ semakain berat. Hal ini menyebabkan tidak jarang seorang ulama’ mendapat tugas-tugas rangkap yang melebihi kemampuannya, yang akhirnya mengakibatkan kelumpuhan dan ketidakberesan tugas-tugas tersebut, sehingga menghilangkan wibawanya, pada akhirnya menimbulkan kesenjangan hubungan antara ulama dan umatnya.

BAB II
PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
  1. Apa pengertian Ulama’ ?
  2. Apa tugas-tugas Ulama’ ?
  3. Apa keistimewaan Nabi yang tidak dimiliki oleh Ulama’?
  4. Bagaimanakah hubungan antara ulama’ dan pemerintah ?
BAB III
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ulama’
Secara harfiyah kata Ulama’ mempunyai arti orang-orang yang tahu alau alim. Sedangkan menurut istilah ulama’ adalah sebutan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang tahu dan memiliki pengetahuan ilmu agama serta ilmu pengetahuan kealaman, yang dengan ilmu pengetahuannya tersebut mereka memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah SWT. Kata ulama’ merupakan bentuk jamak dari kata “alim aalim”, yang keduanya mempunyai arti yang tahu atau mempunyai pengetahuan.
Jika kata ulama’ yang terdapat dalam surat Al-Fatir ayat 28 dihubungkan dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2, pengertian ulama pada ayat tersebut adalah orang yang memiliki tentang ilmu kealaman atau ilmu kauniyah.
Hal ini diperkuat dengan kata ulama’ yang terdapat dalam surat As-syuara ayat 196-197 yang artinya “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab yang terdahulu. Dan  apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama’ Bani Israil mengetahuinya”. Di sini arti ulama’ adalah orang yang memiliki pengetahuan agama, dan dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu dipergunakan untuk menghantarkannya pada rasa khasyyah (takut atau tunduk) kepada Allah SWT.
Dalam kitab tafsir Al-qurtuby disebutkan, bahwa Rasulalah SAW bersabda yang artinya “Sesungguhnya keutamaan orang-orang alim atas orang-orang ahli ibadah (namun tidak alim) adalah seperti keutamaan bulan pada malam lailatul qodar atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama’ itu adalah pewaris para Nabi. Dan bahwa para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambil ilmu, maka ia mengambil bagian yang sempurna. (HR. Abu Dawud).[1]

B.     Tugas-Tugas ulama’
Tugas yang harus dijalankan ulama’ sesuai dengan tugas-tugas kenabian dalam menyebarkan kitab suci  dan agama Allah adalah sebagai berikut :
-          Pertama : menyampaikan (tabligh) ajaran-ajarannya sesuai dengan perintah.
 $pkšr'¯»tƒ ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ….
Artinya : “Wahai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” (QS : Al-maidah :67).
-          Kedua : Menjelaskan ajaran-ajarannya, berdasarkan firman Allah :
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ
Artinya : “Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS. An-Nahl : 44)
-          Ketiga : memutuska perkara atau problem yang dihadapi umat, berdasarkan firman Allah :
tb%x. â¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur y]yèt7sù ª!$# z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# šúï̍Ïe±u;ãB tûïÍÉYãBur tAtRr&ur ãNßgyètB |
=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3ósuŠÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# $yJŠÏù (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù 4
Artinya : “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan”. (Al-Baqarah :213)[2]
-          Keempat : Memberikan contoh pengalam, sesuai dengan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, yang menyatakan bahwa prilaku Nabi adalah praktik dari Al-Qur’an.

Dengan adanya empat tugas yang diemban para Nabi tersebut, sehingga tidak ringan tugas yang dipikul ulma sebagai penerus perjuangan para nabi. Ulama’ harus selalu menyampaikan segala yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an sebagai suatu kewajiban, disamping harus dapat memberikan penjelasan dan pemecahan mengenai problem yang dihadapi umat berdasarkan Al-Qur’an.
Namun dalam hal ini, seorang ulama’ tidak boleh hanya berpegang pada satu penafsiran Al-Qur’an saja, tetapi ia harus dapat mengembangkan prinsip-prinsip yang ada dalam menjawabtantangan yang selalu berubah. Ulama’ harus dapat memberikan petunjuk dan bimbingan yang mengarahkan perkembangan budaya modern atau tehnologi yang canggih sekalipun.
Dengan demikian, mau tidak mau, seorang ulama’ harus menjadi pemimpin bagi umat, walaupun tentu saja tidak dapat menyamai prestasi para nabi dalam memimpin umatnya.
Jika dikembalikan pada dasar ajaran Islam yang diajarkan Nabi, sebenarnya tidak perlu ada pemisahan antara ulama’ dengan umara’ (pemerintah).  Bahkan antara keduanya harus ada kerjasama yang baik untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Ulama’ seharusnya tidak hanya sekedar memberikan fatwa, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam program pemerintah, mulai dari perencanaan samapi pada pengawalan pelaksanaannya.

C.    Keistimewaan Nabi Yang Tidak Dimiliki Ulama’
Dalam kaitannya dengan pemahaman pemaparan, dan pengalaman kitab suci, para nabi (khususnya Nabi Muhammad SAW) memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ulama’, dalam arti mereka tidak dapat mewarisinya secara sempurna. Ulama’ dalam hal ini hanya sekedar berusaha untuk memahami Al-Qur’an sepanjang pengetahuan dan pengalaman ilmiyah mereka, untuk kemudian memaparkan kesimpulan-kesimpula mereka kepada umat. Dalam usaha ini, mereka dapat saja mengalami kekeliruan ganda, yaitu :
-          pertama ; pada saat memahami Al-Qur’an
-          kedua ; pada saat memaparkan atau menyampaikan
Dua hal ini tidak mungkin dialami oleh Nabi Muhammad SAW, sebagimana firman Allah SWT :
§NèO ¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmtR$uŠt/
Artinya : “ Kemudian,  Sesungguhnya  atas  tanggungan  kamilah penjelasannya” (QS. Al-Qiyamah : 19)
Dalam ayat lain  Allah juga berfirman :
Èd,ptø:$$Î/ur çm»oYø9tRr& Èd,ptø:$$Î/ur tAttR 3 !$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) #ZŽÅe³u;ãB #\ƒÉtRur
Artinya : “Dan kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran itu Telah turun dengan (membawa) kebenaran.” (QS. Al-Isra’ : 105)

Kedua ayat tersebut merupakan konsekwensi logis dari jabatan kenabian dan kerasulan, seperti difirmankan Allah SWT yang artinya : “Sesungguhnya kami mengutus engkau disertai dengan segala kebenaran (dalam segala aspeknya)”.(QS:2:105).[3]
Sedangkan dalam pengamalannya, Nabi Muhammad SAW mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur’an secara sempurna, sehingga ajaran-ajaran tersebut menjelma dalam prilaku sehari-hari beliau. Kemampuan mengamalkan tersebut disebabkan oleh kesempurnaan attitude (kesediaan atau bakat) yang bergabung dalam tingkat yang sama dalam pribadi Nabi Muhammad SAW, yakni kesediaan ibadah, berfikir, mengekspresikan keindahan dan berkarya.[4] Kesempurnaan-kesempurnaan itu kemudian dihiasi oleh kesederhanan dalam aksi dan interaksi, lepas dari sifat-sifat yang dibuat-buat atau pura-pura.
Dengan demikian, peran yang dituntut dari para ulama’ adalah musabaqah bial-khairat (berlomba dalam berbuat kebajikan), yang titik tolaknya adalah mendekati, karena tidak mungkin mencapai, keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh orang-orang yang diwarisinya (Nabi), yakni dalam hal pemahaman, penerapan, maupun pengamalan kitab suci.

D.    Ulama’ dan Pemerintahan
Ulama’ yang menyadari kedudukan mereka sebagai pewaris para Nabi merasa berkewajiban untuk terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan, bukan hanya terbatas dalam memberikan nasihat dan fatwa, tetapi juga keterlibatan dalam bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan dan juga pengawasan pembangunan, serta menilai baik-buruknya dampak kebijakan pemerintah berdasarkan nilai-nilai yang diamanatkan Allah Melalui kitab sucinya.
Pemerinta yang sadar akan fungsi agama dan pengaruhnya yang besar dalam menggalakkan pembangunan, mengharapkan ulama’ menjadi pasangan utama bagi pemrintah dalam segala waktu dan persoalan. Khususnya mendorong masyarakat untuk meningkatkan peran serta mereka dalam pembangunan melalui pemaparan ajaran-ajaran agama serta persesuaiaannya dengan langkah-langkah kebijaksanaan pembangunan. Dengan memperhatikan fungsi mereka masing-masing. Praduga tentang adanya kesenjangan antara ulama’ dan pemerintah tidaklah pada tempatnya.
Kesenjangan juga hendaknya tidak terjadi, bila ulama’ dalam mengadakan pengawasan bersikap atas dasar pertimbangan “al-amar bi al ma’ruf wa al-nahi an al-minkar”, atau bila pemerintah dalam menuntut dukungan atas kebijakan-kebijakan mereka melalui argumentasi-argumentasi agama. Bertindak dalam batas-batas kewajaran,m walaupun memang harus diakui bahwa penilaian tentang “kewajaran” sering kali diperselisihkan oleh kedua pihak.
Dari sini, bile kesenjangan tersebut terjadi, tidaklah dapat dikatakan bahwa ia hanya terjadi antara ulama’ di satu pihakdan pemerintah dilain pihak. Tetapi biasanya hanya terjadi pada oknum (ulama’ tertentu), baik itu perorangan maupun kelompok, dengan satu kebijakan yang ditempuh oleh seorang penanggung jawab pembangunan, sementara yang itu perbedaan penilaian yang terjadi harus dinilai dalam batas kewajaran.

BAB IV
KESIMPULAN/PENUTUP
Dari beberapa uraian di atas tentang “Ulama’ sebagai pewaris para Nabi”, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan :
  1. Para ulama’ adalah orang yang berhak menerima warisan peninggalan para nabi, sekaligus sebagai ahli waris Nabi dari semua segi /aspeknya, baik dari aspek ilmu pengetahuan, aspek amaliah atau karyanya. Sehingga ulama’ adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan luas dan berkarya untuk kepentingan umat.
  2. Para Nabi tidak meninggalkan warisan berupa harta benda, melainkan yang ditinggalkannya berupa ilmu pengetahuan yang sangat luas dan tinggi. Sehubungan dengan hal ini Rasulallah SAW pernah menegaskan bahwa warisan yang beliau tingalkan untuk seluruh umat manusia dari masa-kemasa, yang menjamin ketidak sesatan bagi yang berpegang padanya, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana sabda beliau.



Demikian apa yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari dengan adanya kekurangan karena keterbatasan dan pemikiran penulis. Harapan penulis kritik dan saran dari Bapak Dosen maupun rekan-rekan yang membaca makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat, baik bagi penulis dan para pembaca. Amin…..

DAFTAR PUSTAKA
-          M. Ishon El-saha, Saiful hadi, Sketsa Al-Qur’an : PT. Liska fariska Putra, 2005 Cet. 1
-          M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : PT Mizan Pustaka, 2007, Cet. 1
-          Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya.




[1] M. Ihsan Elsaha, MA, Sketsa Al-Qur’an.
[2] Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya.
[3] Tajuk majalah Al-Muslim, Edisi Robi’utsani1373/ Desember 1953
[4] Abqariyah Muhammad, Al-Aqqad, Dar Al-Hilal

No comments:

© Copyright YONGKIRUDI