IMPLIKASI PSIKOLOGI DALAM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Istilah psikologi (ilmu jiwa) merupakan salah satu
cabang ilmu yang berguna untuk mengamati sifat dan tingkah laku manusia.
Tingkah laku dan sifat yang dimilki oleh manusia dapat difahami dan ditafsirkan
dengan menggunakan Psikolog.
Dalam dunia
Islam, wacana Psikologi Islam mulai dikenal sejak tahun 1978, yaitu ketika
berlangsung simposium internasional tentang Psikologi dan Islam (International Symposium on Psikology and
Islam). Semenjak itulah makin sering diadakan seminar dan symposium yang
membahas tentang psikologi dan Islam. [1]
Istilah Psikologi Islam (The Islamic Psychology) populeruntuk wacana psikologi yang
didasarkan pada pandangan dunia Islam. Istilah psikologi Islam dipercayai lebih
tepat dan memiliki jangkauan yang lebih luas daripada istilah-istilah lain. Bukan hanya pemikiran dan praktik yang
berasal dari agama Islam, tapi juga dari sumber-sumber lain yang dapat diterima
dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, pandangan bahwa
prilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan.
Namun
demikian Pandangan-pandangan yang berasal dari khazanah Islam diambil sebagai
dasar utama pengembangan psikologi Islam. Beberapa contohnya adalah fitrah, qolb, ruh, nafs,
insan kamil dan lain-lain.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah yang berjudul Implikasi Psikologi
dalam Islam ini, penulis akan menjelaskan beberapa masalah sebagai berikut:
- Apakah
Manfaat Psikologi Dalam Islam ?
- Apakah Psikologi Islam Bertitik Tolak dari
Al-Qur’an dan Hadits ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manfaat Psikologi Dalam Islam
Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari
jiwa seseorang melalui gejala prilaku yang dapat diamati. Menurut Zakiah
Darajat, bahwa prilaku seseorang yang nampak lahiriyah terjadi karena
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Sesorang ketika berjumpa saling
mengucapkan salam, hormat kepada orang tua, hormat kepada guru, menutup aurat,
rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala gejala
keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama
sebagaimana yang telah dikemukakan tadi tidak mempersoalkan benar tidaknya
suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana
keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam prilaku penganutnya.[2]
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istlah-istilah
yang menggambarkan sikap batin seseorang. Suatu contoh sikap seorang yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah,
sebagai orang yang shaleh, orang yang berbuat baik, orang jujur dan sebagainya.
Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini, seseorang selain akan mengetahui
tingkat keagamaan yang dianut, dihayati, difahami dan diamalkan seseorang, ilmu
jiwa juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa
seseorang sesuai dengan tingkat usianya. Dengan ilmu semacam ini, agama akan
menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Misalnya kita dapat mengetahui pengaruh dari sholat,
puasam zakat, haji, dan ibadah laonnya melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan
ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam
menanamkan agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat
untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Psikologi menganalisis bagian dalam manusia secara
ilmiah dalam rangka memahami tingkah lakunya. Psikologipun dapat digunakan
untuk memahami gejala agama dan menjadi bagian dari psikologi agama. Akan
tetapi, psikologi agama tidak mudah diterima oleh kalangan ahli agama maupun
para psikolog. Untuk memperjelas kedudukan psikologi sebagai pendekatan dalam
memahami agama., marilah kita lihat agama sebagai obyek psikologi. Sebagaimana
kita ketahui bahwa agama menyangkut alam metafisika, Alloh, dan dewa-dewa. Sedangkan psikologi menyangkut manusia dan
lingkungannya. Dengan demikian psikologi tidak membuat pernyataan apapun
tentang agama, juga tidak bisa meniadakan atau menolak adanya Alloh dan hal-hal
yang bersifat metafisik lainnya. Jika psikologi digunakan sebagai pendekatan
dalam memahami agama, bukan berarti ia akan membuat pernyataan tentang dunia
gaib, atau memberikan penilaian benar atau salah, baik atau buruk terhadap
agama. Akan tetapi, psikologi berusaha memahami tingkah laku manusia yang
beragama. Selanjutnya perlu dinyatakan bahwa perbuatan”beriman” adalah
”tindakan manusia” (human act) yang
terbuka untuk penyelidikan psikologi. Sedangkan mengenai benar atau salahnya
suatu agama tidaklah dapat dijawab oleh psikologi atau pengetahuan empirik
lainnya.[3]
Psikologi
tidak mengejar kebenaran teologis atau metafisik, tetapi hanya kebenaran
psikologis. Contohnya dalam mempelajari mengapa manusia beragama, psikologi
menemukan keseluruhan motif yang bersifat psikologis. Penyelidikan psikologis
seperti ini enggan menyangkal teologi, tetapi justru melengkapinya. Sebab
hubungan manusia dengan Alloh itu terjalin secara mendalam dengan apa yang
bersifat manusia dalam diri kita. Maka psikologi agama menyadarkan kita akan
perlunya pemurnian motivasi, agar motivasi itu betul-betul bersifat religius.[4]
B.
Psikologi Islam Bertitik
Tolak dari Al-Qur’an dan Hadits
Secara umum, sumber pengetahuan yang dapat dipercaya
adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Untuk itu, pengembangan psikologi islami dapat
dirumuskan dengan menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber pokoknya. Secara
ringkas,bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits hádala rujukan utama psikologi islam. Psikologi
islam memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah aspek dalam manusia.[5]
Sedangkan Abdul A’la al- mandudi mengungkapkan bahwa pokok perhatian al-Qur’an
adalah manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam al-Qur’an tersedia
bahan rujukan yang melimpah bagi perumusan konsep ilmu tantang manusia (ilm al-nafs).[6]
Sekurang-kurangnya ada dua macam cara merumuskan konsep
manusia menurut al-Qur’an dan al-Hadits secara langsung.
Cara yang pertama adalah memahami istilah-istilah tematik dalam
al-Qur’an. Berbagai istilah dalam Al-Qur.an dan Al-Hadits itu bersifat pada
makna. Istilah-istilah yang menjadi
tema dalam Al-Qur’an pada umumnya bersifat multi dimensional.[7]
Contohnya dalam istilah “Nafs” dalam pengertian asli al-Qur’an, bisa berarti
Tuhan, totalitas manusia, pribadi, diri, sisi dalam manusia, jiwa bahkan bisa
pula berati aspek negatif manusia (al-nafs al-ammaroh; hawa nafsu). Untuk
keperluan penyusunan psikologi islami, makna nafs yang dieksplorasi dari
al-Qur’an dan al-Hadits itu berlaku untuk manusia. Sebagai contoh, dikatakan
oleh al-Qur’an bahwa nafs diciptakan
Allah dalam jeadaan sempurna untuk menampung dan mendorong manusia berbuat
kebaikan dan keburukan.
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy . $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur
Artinya : “Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syams : 7-8)[8]
Diisyaratkan
pula bahwa dalam wujud aslinya, nafs lebih cenderung kepada kebaikan ketimbang
keburukan.[9] Sebagaimana disebutkan dalam surat At-tiin :4-6
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5 OÈqø)s? ¢OèO çm»tR÷yu @xÿór& . tû,Î#Ïÿ»y wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çöxî 5bqãYøÿxE
Artinya : “ Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya . Kemudian kami kembalikan dia ke
tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (
QS. At-Tiin : 4 – 6 )[10]
Dari
keterangan-keterangan al-Qur’an diatas, maka nafs dapat mempunyai rentang
kegiatan dari perbuatan berkualitas tertinggi (taqwa) sampai perbuatan
berkualitas terburuk (fujur). Melihat rentang kemungkinan perbuatan nafs diatas, Abdullah Yusuf Ali
membagi nafs menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. tingkat kebinatangan
(al-nafs al- ammarah)
2. tingkat kemanusiaan
(al-nafs al-lawwamah)
Istilah-istilah
tematik dari al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat ditelaah lebih lanjut bagi
perumusan dan pengembangan psikologi islam adalah insan, basyar, fitrah, ruh,
gaib, dan seterusnya. M.Hamdani Bakran Adz-Dzaky dan Rifaat Syauqi Nawawwi
pernah memberikan penjelasan memadai tentang masalah ini. Al-Qur’an juga
menyediakan berbagai macam istilah yang khas, diantaranya tawakkal, sabar,
syukur, sakinah, dan sebagainya.
Cara yang
kedua ini adalah memahami konsep keseluruhan al-Qur’an dan al-Hadits tentang
tema-tema tertentu seputar manusia. Sebagai contoh hádala bagaimana al-Qur’an
menjelaskan tentang hakikat dan proses penciptaan manusia. Dalam al-Qur’an
diungkapkan bahwa yang pertama-pertama diciptakan oleh diri Tuhan pada diri
manusia hádala ruh. Ruh Allah (the spirit of God) yang ada pada diri manusia
itu selanjutnya dihembuskan kedalam jasad manusia yang masih berada dalam alam
konsepsi.
Sejauh ini
dikalangan umat Islam beredar aturan yang mengharuskan pengkaji al-Qur’an untuk
memahami bahasa arab, memahami sebab-sebab turunnya al-Qur’an (asbab an-nuzul),
mengerti nahwu dan shorof, dan berbagai jenis lanilla. Untuk itu syarat-syarat
diatas Sangat baik untuk dipenuhi, Namur bukan berarti upaya perumusan
psikologi islam tidak dapat dilakukan. Bagaimanapun juga upaya pengembangan
psikologi islam hádala upaya manusia untuk memahami al-Qur’an dengan
menggunakan akal pikir dan qalbu.
Dengan
memanfaatkan akal dan qalbu, pengkaji psikologi islami dapat memanfaatkan
berbagai kemudahan yang ada, seperti adanya penafsiran ayat yang disampaikan
oleh ulama’ atau ilmuwan muslim tentang al-Qur’an, tersedianya perangkat
teknologi atau ensiklopedi al-Qur’an didalamnya berisi topik-topik al-Qur’an
dan sebagainya.
Perlu dicatat
bahwa dikarenakan penggunaan akal pikiran itu dilakukan manusia, maka Sangay
terbuka kemungkinan adanya kekeliruan dalam penafsirannya. Adanya orang lain, foru,
atau instituís yang dapat mengoreksi kesalahan hádala hal yang dapat diaktifkan
untuk meminimalisasi kesalahan-kesalahan yang bakal terjadi. Tidak perlu ada kecemasan,
karena proses pengembangan teori psikologi islami akan melibatkan banyak pihak.
Setiap penyimpangan akan mengalami koreksi dan umpan balik (Feedback).
BAB III
KESIMPULAN/PENUTUP
Dari uraian di atas maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
-
Psikologi tidak hanya mengejar kebenaran teologis atau metafisik, tetapi hanya
kebenaran psikologis.
-
Psikologi Agama menyadarkan kita akan perlunya
pemurnian motivasi, agar motivasi itu betul-betul bersifat religius.
-
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk merumuskan
konsep manusia menurut Al-Qur’an dan Hadits, yaitu : memahami istilah-istilah
tematik dalam Al-Qur’an yang bersifat dalam makna dan memamhami konsep
keseluruhan Al-Qur’an dan Hadits tentang tema-tema tertentu seputar kehidupan manusia.
Demikian penjelasan singkat yang dapat
penulis sampaikan dalam makalah ini. Penulis menyadari akan adanya kekurangan,
karena keterbatasan bahan dan pemikiran penulis. Harapan dari penulis kritik
dan saran dari bapak dosen pengampu dan rekan-rekan yang membaca makalah ini.
Semoga penulisan makalah ini memberikan manfaat bagi penulis dan para pembaca. Dan
semoga penulisan makalah ini selalu mendapatkan ridlo dari Allah SWT.
Sebagai kata akhir tidak ada kebenaran
yang haqiqi kecuali milik Allah SWT dan dari-Nya segala sesuatu bersumber. Wallahu
a’lam bish-shawab. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ashshiddiq, T.M.
Hasbi dkk Alqur’an dan Terjemahnya,Saudi Arabia: Kompleks Pecetakan
Al-Qur’anul Karim Kepunyaan Raja Fahd,1421
Abdul A’la
Al-Maududi, Bagaimana Memahami Al-Qur’an,
Surabaya : Al-Ikhlas, 1981
Darajad Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan
Bintang, 1987
Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Terjemahan Anas
Mulyadi,Bandung : Pustaka Bandung, 1983.
Nashori Fuad, Agenda Psikologi Islam
Raharjo Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an ; Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta : Paramadina, 1996
Shihab Quraish M.,
Konsep Manusia Menurut Islam, Solo :
Thoyibi GM NgemronLEDS, 1996
Sosiologi Of Religion,
P.B
[1]
Fuad Nashori, Agenda Psikologi Islam,
hlm. 3
[2] Zakiah Darajad, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987),hlm. 76
[3] Ibid, hlm. 360-361
[4] Sosiologi Of Religion, P.B
[5]
Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur’an,
Terjemahan Anas Mulyadi (Bandung : Pustaka Bandung, 1983),hlm. 67
[6]
Abdul A’la Al-Maududi, Bagaimana Memahami
Al-Qur’an, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1981), hlm.108
[7]
Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an ;
Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta : Paramadina,
1996), hlm. 214
[8]
T.M. Hasbi Ashshiddiq dkk, Alqur’an dan Terjemahnya,(Saudi Arabia : Kompleks Pecetakan
Al-Qur’anul Karim Kepunyaan Raja Fahd,1421), hlm. 1064
[9] M.
Quraish Shihab, Konsep Manusia Menurut
Islam, (Solo : Thoyibi GM ngemron LEDS, 1996), hlm. 75
[10]
T.M. Hasbi Ashshiddiq dkk, Op. Cit.
hlm. 1076
[11]
Dawam raharjo, Op.Cit. hlm 135
No comments:
Post a Comment