Breaking News

Makalah

Wednesday, September 28, 2016

makalah IMPLIKASI PSIKOLOGI DALAM ISLAM

IMPLIKASI PSIKOLOGI  DALAM ISLAM 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Istilah psikologi (ilmu jiwa) merupakan salah satu cabang ilmu yang berguna untuk mengamati sifat dan tingkah laku manusia. Tingkah laku dan sifat yang dimilki oleh manusia dapat difahami dan ditafsirkan dengan menggunakan Psikolog.
Dalam  dunia Islam, wacana Psikologi Islam mulai dikenal sejak tahun 1978, yaitu ketika berlangsung simposium internasional tentang Psikologi dan Islam (International Symposium on Psikology and Islam). Semenjak itulah makin sering diadakan seminar dan symposium yang membahas tentang psikologi dan Islam. [1]
Istilah Psikologi Islam (The Islamic Psychology) populeruntuk wacana psikologi yang didasarkan pada pandangan dunia Islam. Istilah psikologi Islam dipercayai lebih tepat dan memiliki jangkauan yang lebih luas daripada istilah-istilah lain. Bukan hanya pemikiran dan praktik yang berasal dari agama Islam, tapi juga dari sumber-sumber lain yang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, pandangan bahwa prilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan.
Namun demikian Pandangan-pandangan yang berasal dari khazanah Islam diambil sebagai dasar utama pengembangan psikologi Islam. Beberapa  contohnya adalah fitrah, qolb, ruh, nafs, insan kamil dan lain-lain.

B.     Rumusan Masalah
Dalam  makalah yang berjudul Implikasi Psikologi dalam Islam ini, penulis akan menjelaskan beberapa masalah sebagai berikut:
  1. Apakah Manfaat Psikologi Dalam Islam ?
  2. Apakah  Psikologi Islam Bertitik Tolak dari Al-Qur’an dan Hadits ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Manfaat Psikologi Dalam Islam
Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala prilaku yang dapat diamati. Menurut Zakiah Darajat, bahwa prilaku seseorang yang nampak lahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Sesorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada orang tua, hormat kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana yang telah dikemukakan tadi tidak mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam prilaku penganutnya.[2]
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istlah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Suatu contoh sikap seorang yang beriman  dan bertaqwa kepada Allah, sebagai orang yang shaleh, orang yang berbuat baik, orang jujur dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini, seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dianut, dihayati, difahami dan diamalkan seseorang, ilmu jiwa juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usianya. Dengan ilmu semacam ini, agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Misalnya kita dapat mengetahui pengaruh dari sholat, puasam zakat, haji, dan ibadah laonnya melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Psikologi menganalisis bagian dalam manusia secara ilmiah dalam rangka memahami tingkah lakunya. Psikologipun dapat digunakan untuk memahami gejala agama dan menjadi bagian dari psikologi agama. Akan tetapi, psikologi agama tidak mudah diterima oleh kalangan ahli agama maupun para psikolog. Untuk memperjelas kedudukan psikologi sebagai pendekatan dalam memahami agama., marilah kita lihat agama sebagai obyek psikologi. Sebagaimana kita ketahui bahwa agama menyangkut alam metafisika, Alloh, dan dewa-dewa. Sedangkan psikologi menyangkut manusia dan lingkungannya. Dengan demikian psikologi tidak membuat pernyataan apapun tentang agama, juga tidak bisa meniadakan atau menolak adanya Alloh dan hal-hal yang bersifat metafisik lainnya. Jika psikologi digunakan sebagai pendekatan dalam memahami agama, bukan berarti ia akan membuat pernyataan tentang dunia gaib, atau memberikan penilaian benar atau salah, baik atau buruk terhadap agama. Akan tetapi, psikologi berusaha memahami tingkah laku manusia yang beragama. Selanjutnya perlu dinyatakan bahwa perbuatan”beriman” adalah ”tindakan manusia” (human act)  yang terbuka untuk penyelidikan psikologi. Sedangkan mengenai benar atau salahnya suatu agama tidaklah dapat dijawab oleh psikologi atau pengetahuan empirik lainnya.[3]
Psikologi tidak mengejar kebenaran teologis atau metafisik, tetapi hanya kebenaran psikologis. Contohnya dalam mempelajari mengapa manusia beragama, psikologi menemukan keseluruhan motif yang bersifat psikologis. Penyelidikan psikologis seperti ini enggan menyangkal teologi, tetapi justru melengkapinya. Sebab hubungan manusia dengan Alloh itu terjalin secara mendalam dengan apa yang bersifat manusia dalam diri kita. Maka psikologi agama menyadarkan kita akan perlunya pemurnian motivasi, agar motivasi itu betul-betul bersifat religius.[4]

B.     Psikologi Islam Bertitik Tolak dari Al-Qur’an dan Hadits
Secara umum, sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Untuk itu, pengembangan psikologi islami dapat dirumuskan dengan menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber pokoknya. Secara ringkas,bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits hádala rujukan utama psikologi islam. Psikologi islam memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah aspek dalam manusia.[5]
Sedangkan Abdul A’la al- mandudi  mengungkapkan bahwa pokok perhatian al-Qur’an adalah manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam al-Qur’an tersedia bahan rujukan yang melimpah bagi perumusan konsep ilmu tantang manusia (ilm al-nafs).[6]
Sekurang-kurangnya ada dua macam cara merumuskan konsep manusia menurut al-Qur’an dan al-Hadits secara langsung.
Cara yang pertama adalah memahami istilah-istilah tematik dalam al-Qur’an. Berbagai istilah dalam Al-Qur.an dan Al-Hadits itu bersifat pada makna. Istilah-istilah yang menjadi tema dalam Al-Qur’an pada umumnya bersifat multi dimensional.[7] Contohnya dalam istilah “Nafs” dalam pengertian asli al-Qur’an, bisa berarti Tuhan, totalitas manusia, pribadi, diri, sisi dalam manusia, jiwa bahkan bisa pula berati aspek negatif manusia (al-nafs al-ammaroh; hawa nafsu). Untuk keperluan penyusunan psikologi islami, makna nafs yang dieksplorasi dari al-Qur’an dan al-Hadits itu berlaku untuk manusia. Sebagai contoh, dikatakan oleh al-Qur’an bahwa nafs diciptakan Allah dalam jeadaan sempurna untuk menampung dan mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan.
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy .  $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syams : 7-8)[8]

Diisyaratkan pula bahwa dalam wujud aslinya, nafs lebih cenderung kepada kebaikan ketimbang keburukan.[9] Sebagaimana disebutkan dalam surat At-tiin :4-6
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5 OƒÈqø)s?  ¢OèO çm»tR÷ŠyŠu Ÿ@xÿór&  . tû,Î#Ïÿ»y   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çŽöxî 5bqãYøÿxE     
Artinya : “ Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” ( QS. At-Tiin : 4 – 6 )[10]

Dari keterangan-keterangan al-Qur’an diatas, maka nafs dapat mempunyai rentang kegiatan dari perbuatan berkualitas tertinggi (taqwa) sampai perbuatan berkualitas terburuk (fujur). Melihat rentang kemungkinan perbuatan nafs diatas, Abdullah Yusuf Ali membagi nafs menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1.      tingkat kebinatangan (al-nafs al- ammarah)
2.      tingkat kemanusiaan (al-nafs al-lawwamah)
3.      tingkat ketuhanan (al-nafs al-muthmainnah)[11]
Istilah-istilah tematik dari al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat ditelaah lebih lanjut bagi perumusan dan pengembangan psikologi islam adalah insan, basyar, fitrah, ruh, gaib, dan seterusnya. M.Hamdani Bakran Adz-Dzaky dan Rifaat Syauqi Nawawwi pernah memberikan penjelasan memadai tentang masalah ini. Al-Qur’an juga menyediakan berbagai macam istilah yang khas, diantaranya tawakkal, sabar, syukur, sakinah, dan sebagainya.
Cara yang kedua ini adalah memahami konsep keseluruhan al-Qur’an dan al-Hadits tentang tema-tema tertentu seputar manusia. Sebagai contoh hádala bagaimana al-Qur’an menjelaskan tentang hakikat dan proses penciptaan manusia. Dalam al-Qur’an diungkapkan bahwa yang pertama-pertama diciptakan oleh diri Tuhan pada diri manusia hádala ruh. Ruh Allah (the spirit of God) yang ada pada diri manusia itu selanjutnya dihembuskan kedalam jasad manusia yang masih berada dalam alam konsepsi.
Sejauh ini dikalangan umat Islam beredar aturan yang mengharuskan pengkaji al-Qur’an untuk memahami bahasa arab, memahami sebab-sebab turunnya al-Qur’an (asbab an-nuzul), mengerti nahwu dan shorof, dan berbagai jenis lanilla. Untuk itu syarat-syarat diatas Sangat baik untuk dipenuhi, Namur bukan berarti upaya perumusan psikologi islam tidak dapat dilakukan. Bagaimanapun juga upaya pengembangan psikologi islam hádala upaya manusia untuk memahami al-Qur’an dengan menggunakan akal pikir dan qalbu.
Dengan memanfaatkan akal dan qalbu, pengkaji psikologi islami dapat memanfaatkan berbagai kemudahan yang ada, seperti adanya penafsiran ayat yang disampaikan oleh ulama’ atau ilmuwan muslim tentang al-Qur’an, tersedianya perangkat teknologi atau ensiklopedi al-Qur’an didalamnya berisi topik-topik al-Qur’an dan sebagainya.
Perlu dicatat bahwa dikarenakan penggunaan akal pikiran itu dilakukan manusia, maka Sangay terbuka kemungkinan adanya kekeliruan dalam penafsirannya. Adanya orang lain, foru, atau instituís yang dapat mengoreksi kesalahan hádala hal yang dapat diaktifkan untuk meminimalisasi kesalahan-kesalahan yang bakal terjadi. Tidak perlu ada kecemasan, karena proses pengembangan teori psikologi islami akan melibatkan banyak pihak. Setiap penyimpangan akan mengalami koreksi dan umpan balik (Feedback).   



BAB III
KESIMPULAN/PENUTUP

Dari uraian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
-          Psikologi tidak hanya mengejar kebenaran teologis atau metafisik, tetapi hanya kebenaran psikologis.
-          Psikologi Agama menyadarkan kita akan perlunya pemurnian motivasi, agar motivasi itu betul-betul bersifat religius.
-          Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk merumuskan konsep manusia menurut Al-Qur’an dan Hadits, yaitu : memahami istilah-istilah tematik dalam Al-Qur’an yang bersifat dalam makna dan memamhami konsep keseluruhan Al-Qur’an dan Hadits tentang tema-tema tertentu seputar kehidupan manusia.

Demikian penjelasan singkat yang dapat penulis sampaikan dalam makalah ini. Penulis menyadari akan adanya kekurangan, karena keterbatasan bahan dan pemikiran penulis. Harapan dari penulis kritik dan saran dari bapak dosen pengampu dan rekan-rekan yang membaca makalah ini. Semoga penulisan makalah ini memberikan manfaat bagi penulis dan para pembaca. Dan semoga penulisan makalah ini selalu mendapatkan ridlo dari Allah SWT. Sebagai  kata akhir tidak ada kebenaran yang haqiqi kecuali milik Allah SWT dan dari-Nya segala sesuatu bersumber. Wallahu a’lam bish-shawab. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Ashshiddiq, T.M. Hasbi dkk Alqur’an dan Terjemahnya,Saudi Arabia: Kompleks Pecetakan Al-Qur’anul Karim Kepunyaan Raja Fahd,1421
Abdul A’la Al-Maududi, Bagaimana Memahami Al-Qur’an, Surabaya : Al-Ikhlas, 1981
Darajad Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1987
Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Terjemahan Anas Mulyadi,Bandung : Pustaka Bandung, 1983.
Nashori Fuad, Agenda Psikologi Islam
Raharjo Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an ; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta : Paramadina, 1996
Shihab Quraish M., Konsep Manusia Menurut Islam, Solo : Thoyibi GM NgemronLEDS, 1996
Sosiologi Of Religion, P.B




[1] Fuad Nashori, Agenda Psikologi Islam, hlm. 3
[2] Zakiah Darajad, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987),hlm. 76
[3] Ibid, hlm. 360-361
[4] Sosiologi Of Religion, P.B
[5] Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Terjemahan Anas Mulyadi (Bandung : Pustaka Bandung, 1983),hlm. 67
[6] Abdul A’la Al-Maududi, Bagaimana Memahami Al-Qur’an, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1981), hlm.108
[7] Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an ; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta : Paramadina, 1996), hlm. 214
[8] T.M. Hasbi Ashshiddiq dkk, Alqur’an dan Terjemahnya,(Saudi Arabia: Kompleks Pecetakan Al-Qur’anul Karim Kepunyaan Raja Fahd,1421), hlm. 1064
[9] M. Quraish Shihab, Konsep Manusia Menurut Islam, (Solo : Thoyibi GM ngemron LEDS, 1996), hlm. 75
[10] T.M. Hasbi Ashshiddiq dkk, Op. Cit. hlm. 1076
[11] Dawam raharjo, Op.Cit. hlm 135

No comments:

© Copyright YONGKIRUDI